Potensi Sagu: Paling Indonesia
OPINI | 19 May 2011 | 20:39
Indonesia merupakan negara yang
dianugerahi Tuhan dengan kekayaan sumber daya alam yang menopang
kehidupan masyarakatnya, mulai dari kekayaan bahari hingga kekayaan
hutan yang tak terbendung banyaknya. Persoalaan yang muncul hanyalah
pada sumber daya pengelolaan kekayaan tersebut hingga menjadi sesuatu
yang bermanfaat.
Salah satu dari kekayaan hutan Indonesia yang cukup signifikan yakni tanaman sagu (Metroxylon).
Mengapa sagu termasuk kekayaan Indonesia? Sebab, dari total area hutan
sagu di dunia, Indonesia memiliki satu juta hektar hutan sagu yang
tersebar di beberapa provinsi atau menguasai 51.3% hutan sagu di dunia.
Sebaran lahan pohon sagu terbesar di Indonesia terdapat di beberapa
wilayah yaitu Papua, Maluku, Riau, Sulawesi Tengah dan Kalimantan.
Dari luas hutan sagu tersebut, secara
matematis sagu ikut menyumbang pemasukan bagi Indonesia dikisaran
trilyunan rupiah. Berdasarkan hasil kajian dan pemetaan Forum Kerjasama
Agribisnis, jika Indonesia mau membudidayakan sagu dan memanfaatkan
pengelolaannya secara maksimal dalam memproduksi tepung sagu, maka dalam
jangka waktu sekali panen, industri tepung sagu dengan kisaran harga
Rp. 2.400 per kilo gramnya pun sudah mampu menyumbang pendapatan kotor
dikisaran 4 trilyun rupiah.
Selain itu, banyak alasan strategis yang
membuat sagu pantas meng-Indonesia, mulai dari alsan filosofis,
pemanfaat dan nilai guna, hingga alasan politis dan budaya. Dalam
artikel ini, saya akan membahas beberapa alasan strategis tersebut yang
menurut saya pantas membuat sagu terasa paling Indonesia.
Secara filosofi hidup, Indonesia perlu
meneladankan ketahanan hidup layaknya sagu. Mengapa demikian? Dari
sekian banyak permasalahan hidup yang mendera bangsa ini, Indonesia
perlu membangun ketahanan hidup agar tak mudah terkoyak. Jika belajar
dari karakteristik sagu dalam menopang hidupnya, sagu termasuk tanaman
pangan dengan ketahanan hidup yang memukau.
Biasanya, sagu tumbuh di daerah rawa
yang berair tawar atau daerah rawa yang bergambut dan di daerah
sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau di hutan rawa yang
kadar garamnya tidak terlalu tinggi dan tanah mineral di rawa-rawa air
tawar dengan kandungan tanah liat lebih dari 70% dan bahan organik 30%.
Pertumbuhan sagu yang paling baik adalah pada tanah liat kuning coklat
atau hitam dengan kadar bahan organik tinggi.
Dari area tumbuh seperti gambaran di
atas, sagu mampu menghasilkan produk terbaiknya bagi kebutuhan manusia.
Padahal, risiko tanaman sagu di area tumbuh seperti itu juga cukup
rentan terhadap serangan hama dan ragam penyebab kerusakan lahannya.
Pada sagu usia muda (3-4 tahun) biasanya mulai dilakukan penyiangan
gulma, sebab gulma dapat menyebabkan kebakaran lahan kebun sagu. Dari
gulma, juga dapat menjelma menjadi hama perusak pohon sagu.
Dalam masa-masa pertumbuhan, sagu
mengalami gangguan mulai dari akar hingga dedaunannya. Akar sagu akan
mati jika pengairan dan tanah di rawah tidak menunjang untuk pernapasan
akar, akibatnya pohon sagu pun bisa mati yang mengakibatkan gagal panen.
Batang dan daun sagu juga sering terserang hama, ciri dari serangan
hama ini adalah, serangan sekunder setelah kumbang oryctes biasanya meletakkan telur di luka bekas oryctes. Bila serangan terjadi pada titik tumbuh, dapat menyebabkan kematian pohon.
Hama juga bukan satu-satunya penghambat
sagu dalam perjalanan hidupnya, dimasa rentannya antara usia 1-4 tahun,
sagu masih memiliki kemungkinan punah atau mati akibat serangan hewan,
seperti ulat artona, babi hutan, dan kera ((macaca irus)). Ulat
artona, selain merusak daun pada sagu, juga menyerang pada daging buah,
ulat daun ini menyerang jaringan dalam daun. Sedangkan babi hutan,
berpotensi merusak sagu pada masa semai dan sapihan, memakan pucuk
batang yang masih muda. Begitupun hewan kera (macaca irus), juga merusak sagu muda. Penyakit yang biasanya terdapat pada tanaman sagu adalah bercak kuning yang disebabkan oleh cendawan Cercospora. Gejala dari penyakit ini adalah daun berbercak-bercak coklat.
Meski mendapat banyak serangan dalam
masa-masa pertumbuhannya, sagu mampu mengatasi permasalahan itu secara
biologis, memanfaatkan tumbuhan disekitarnya untuk mengurangi tingkat
serangan terhadap dirinya. Area rawa juga cukup melindunginya dari
serangan hewan perusak seperti babi dan kera. Dan keuntungan lainnya,
permasalahan sagu sudah tentu dapat ditangani secara mekanik atau
berdasarkan bantuan manusia dalam menjaga dan merawatnya.
Pemanfaatan Sagu
Dengan kemungkinan tingkat kerusakan
yang ada, sagu dapat tampil dengan postur terbaiknya, tinggi menjulang
lebih hingga 10 meter, terlebih tingkat pemanfaatannya yang luar biasa
besar. Di kampung kelahiran saya, Desa Kwaos, Ambon, warga setempat
memanfaatkan sagu bahan pangan primer maupun sebagai bahan mentah
pembuatan kerajinan tangan dan sebagainya.
Berikut beberapa pemanfaatan sagu secara tradisional yang sering dilakukan oleh warga desa di kampung saya, yakni: pertama,
batang sagu dapat digunakan sebagai saluran air untuk irigasi
persawahan atau ladang, batang sagu dapat dibelah lebih tipis untuk
dijadikan papan alas saung di perkembunan, dan menjadikan batang sagu
sebagai pagar area perkebunan. Kedua, pati sagu dalam batang
dapat dikelola menjadi makanan tradisional sagu, tepung sagu, dan aneka
makanan seperti mie dan beragam jenis kue.
Ketiga, daun pohon sagu dapat
digunakan sebagai atap rumah. Daun-daun disulam dengan cara khusus,
dikeringkan, kemudian dijadikan atap rumah. Meski rumah di kampung saya
sudah cukup maju, menggunakan seng dan genteng, tapi ada saja beberapa
warga yang masih mempertahankan cara hidup tradisional dengan
memanfaatkan daun sagu sebagai atap rumah.
Pemanfaatan modernnya, selain sebagai
bahan campuran bagi soun, mie dan kerupuk yang terdapat di restoran khas
Maluku, sagu juga dibutuhkan bagi industri tekstil, kertas, dan juga
industri kosmetika. Berdasarkan data Perhimpunan Pendayagunaan Sagu
Indonesia (PPSI), produksi sagu nasional saat ini mencapai 200.000 ton
per tahun atau baru mencapai sekitar 5 persen dari potensi sagu
nasional.
Berdasarkan kajian Forum Kerjasama
Agribisnis, Indonesia memiliki potensi alam bagi pengembangan sagu yang
tidak dimiliki oleh benyak negara di dunia. Logika pemanfaatannya, jika
pemerintah menginvestasi dana senilai 1,3 trilyun rupiah dengan grace
period 12 tahun pada luas lahan 68.180 hektar, dengan pendapatan kotor
pada tahun pertama sebesar 4 trilyun rupiah, sebenarnya layak untuk
diwujudkan dan sangat menguntungkan. Apabila upaya ini dilakukan,
sebenarnya kita dapat sangat berkontribusi bagi pemenuhan pangan dunia.
Untuk pangan nasional, tentu pemanfaatan sagu sebagai komoditi pangan
berkarbohidrat juga ikut mengurangi ketergantungan masyarakat pada beras
yang saat ini diserap hampir 80% oleh masyarakat Indonesia.
Selain sebagai komoditi pangan, menurut
pakar Sagu dari Institute Pertanian Bogor (IPB) Bogor, Dr Fredy Rumawas,
bahan tepung Sagu dapat menghasilkan polimer terbaik guna membuat
plastik yang bisa terurai atau plastik yang mudah hancur di alam.
Sedangkan di pasaran internasional, tepung sagu digunakan sebagai bahan
substitusi tepung terigu untuk pembuatan biskuit, mie, sirup berkadar
fruktosa tinggi, industri perekat, dan industri farmasi. Jadi, dengan
satu juta lahan sagu di Indonesia, sejatinya Indonesia mampu menjelma
menjadi makmur.
Kesimpulannya, secara umum pembudidayaan
dan pemanfaatan sagu memberikan manfaat lebih bagi Indonesia, baik pada
taraf penigkatan ekonomi, kesejahteraan sosial, penyediaan komoditi
pangan nasional, hingga penyediaan lapangan kerja dan bisnis. Bahkan,
sagu secara budaya sudah menjadi bagian intim bangsa ini sebab
keberadaan sagu pada awalnya diperkirakan berasal dari Maluku dan Papua.
Sagu juga mencerminkan sikap, watak, dan
karakter bangsa ini yakni mampu bertahan hidup dalam keadaan
terseok-seok akibat gangguan lingkungan global. Harapannya, Indonesia
kelak akan menjadi negara yang memberikan manfaat bagi masyarakat
global, nama bangsa ini akan tetap kokoh, menjulang tinggi meski diterpa
badai ujian yang bertubi-tubi.
Salam Kompasiana
0 komentar:
Posting Komentar